Patih Djojodigdo mengibaskan pecut Samandiman, suaranya begitu menggelegar layaknya gemuruh petir. Ketika pecut atau cambuk sakti itu dikibaskan, tiba-tiba saja aliran lahar Gunung Kelud yang tengah mengalir deras ke arah pusat Kadipaten Blitar, berbelok arah.
Lahar letusan Gunung Kelud yang datang bergelombang tersebut, langsung bergeser dan membuat masyarakat Kadipaten Blitar selamat dari amukan lahar Gunung Kelud. Cerita rakyat tentang Patih Eyang Djojodigdo dan pecut Samandimannya yang sakti ini berkembang di masyarakat Blitar, pasca letusan dahsyat Gunung Kelud pada tahun 1901 silam.
Cerita rakyat ini diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Bahkan, usai letusan dahsyat di tahun 1901 tersebut, banyak warga yang selalu mengungsi ke Pesanggrahan Patih Djojodigdo ketika Gunung Kelud meletus. Seperti saat terjadi letusan Gunung Kelud pada tahun 1919, 1965 dan 1990.
Pesanggrahan Patih Djojodigdo, yang juga menjadi pemakaman Patih Djojodigdo berada di Jalan Melati No. 43, Kota Blitar. Dalam wawancara yang dilansir dari SINDOnews, Mbah Lasiman, penjaga pesarean Patih Djojodigdo masih mengingat bagaimana wajah para pengungsi bersimbah keringat pada akhir tahun 2021 silam.
Kata Mbah Lasiman, para pengungsi itu menengadah ke langit malam, menyaksikan kilat yang tidak berhenti menyambar-nyambar. Meski merasa was-was, warga percaya bahwa lahar panas, material batu bercampur kerikil dan pasir yang dimuntahkan Gunung Kelud, tidak akan berani menyentuh kediaman Eyang Djojodigdo.
“Lahar Kelud larinya ke utara. Tidak ke selatan, karena lahar takut sama eyang (Djojodigdo),” ucap Mbah Lasiman kala itu.
Gunung Kelud tercatat pernah meletus pada tahun 1901, 1919, 1965, 1990 dan terbaru pada tanggal 14 Februari 2014. Saat itu, jutaan abu vulkanik sempat melumpuhkan sebagian besar aktivitas masyarakat di wilayah Malang, Kediri, Surabaya dan Yogyakarta. Bahkan, hujan abu juga dirasakan oleh warga di wilayah Jawa Barat dan Banten.
Letusan dahsyat pada tahun 1965 dan 1990 memuntahkan material batu pijar ke angkasa, lalu jatuh dan meluluh lantakkan banyak bangunan rumah. Tidak sedikit warga yang tewas karena tertimpa material letusan atau tertindih bangunan rumah. Namun, para warga yang mengungsi di kediaman Eyang Djojodigdo, selamat.
“Hanya hujan debu. Tidak sampai ada lahar,” ucap Mbah Lasiman yang telah 11 tahun menjaga Pesanggrahan Djodigdan saat diwawancara pada tahun 2021 lalu.
Kesaktian Djojodigdo, Patih Kadipaten Blitar
Patih Kadipaten Blitar, Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djodigdo atau Eyang Djojodigdo terkenal sebagai pemilik Pecut Samandiman yang mampu mengusir lahar Gunung Kelud. Lahir pada tanggal 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta. Ayahnya yang bernama Kartowirdjo, merupakan seorang Adipaten Nggetan, Kulon Progo yang bergelar Raden Mas Tumenggung.
Saat masih berumur belasan tahun, Pawadiman Djojodigdo tumbuh mandiri. Ia menempa dirinya dengan menempuh laku riyadhoh atau tirakat dan berkelana. Djojodigdo berguru kepada orang-orang yang memiliki kemampuan spiritual, termasuk kepada Eyang Jugo atau Mbah Jugo.
Djojodigdo mendengar Blitar sebagai kawasan yang gawat. Banyak begal, kecu dan perampok sakti yang berkeliaran di mana-mana. Membuat para punggawa Kadipaten Blitar kewealahan. Melihat hal itu, Eyang Djojodigdo menawarkan diri kepada Bupati Blitar, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo untuk mengatasi gangguan keamanan yang terjadi.
Bupati pun mengizinkan. Djojodigdo yang sudah terkenal dengan ajian Pancasonanya, membuat nyali para penjahat menciut. Mereka memilih menyingkir daripada bertarung dan berakhir binasa.
Ajian Pancasona atau Rawa Rontek adalah ilmu kesaktian pilih tanding. Pemilik ajian ini konon katanya tidak bisa dibunuh. Setiap mati, pengamal Pancasona akan hidup kembali ketika jasadnya menyentuh tanah.
Atas keberhasilannya mengusir para begal, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar dan tinggal di Pesanggrahan Djojodigdan. Masih dalam wawancara di penghujung tahun 2021 lalu, Mbah Lasiman menyebutkan bahwa tradisi mengungsi ke pesarean Djojodigdan saat Gunung Kelud meletus terus berlanjut.
Banyak orang yang percaya, mereka akan dijaga oleh seluruh pusaka peninggalan Eyang Djojodigdo. Pusaka tersebut, kata Mbah Lasiman berwujud ular naga dan delapan ekor harimau Lodoyo, yang diduga merupakan roh harimau dalam tradisi rampogan macan.
Patih Djojodigdo meninggal pada 11 Maret 1909 dan dimakamkan di Pesarean Djojodigdan, di mana sudah ada ada 125 makam di sana. Terdapat sebuah keranda mayat berukir berada di atas pusara Eyang Djojodigdo. Ada empat tiang besi sebagai penyangganya.
Itulah yang membuat Pesarean Djojodigdan dijuluki sebagai Pesarean Makam Gantung. Hal ini merujuk pada kepercayaan jasad pengamal Ajian Pancasona yang bisa hidup kembali ketika menyentuh tanah. Namun, Mbah Lasiman menyebutkan di dalam keranda yang tergantung, hanya berisi pusaka, pakaian atau ageman Eyang Djojodigdo.
–
Editor: Luthfia Azarin