Baru-baru ini, langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menjadi sorotan publik karena upaya mereka yang dianggap berusaha menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan Pilkada. Isu ini mengangkat pertanyaan mendasar tentang penghormatan terhadap supremasi hukum dan integritas proses demokrasi di Indonesia.

Latar Belakang Putusan MK

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menetapkan bahwa syarat usia minimum bagi calon kepala daerah harus dipenuhi pada saat penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusan ini bertujuan untuk memastikan bahwa calon kepala daerah memiliki kedewasaan dan pengalaman yang memadai sebelum memegang jabatan publik. Dalam konteks ini, MK bertindak sebagai penjaga konstitusi yang berusaha melindungi prinsip-prinsip demokrasi dengan menetapkan syarat-syarat yang dianggap esensial untuk kelayakan kandidat.

Tindakan Baleg DPR RI: Sebuah Upaya untuk Membengkokkan Hukum?

Namun, Baleg DPR RI kemudian mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Pilkada yang pada dasarnya mengubah ketentuan yang telah diputuskan oleh MK. Mereka berpendapat bahwa usia minimum tersebut harus dihitung saat pelantikan, bukan saat pendaftaran. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk memudahkan calon-calon tertentu yang mungkin belum memenuhi syarat usia pada saat pendaftaran, namun akan mencapainya pada saat pelantikan.

Baca juga:  Ditancapi Bendera, Jalan Rusak di Blitar Dijanjikan Akan Diperbaiki

Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah tindakan ini merupakan upaya untuk membengkokkan aturan hukum demi kepentingan tertentu? Kritik utama yang muncul adalah bahwa Baleg DPR RI mungkin mencoba mengakomodasi kandidat tertentu yang secara politis diuntungkan oleh perubahan ini. Jika benar demikian, ini adalah preseden berbahaya yang merusak fondasi demokrasi, di mana hukum seharusnya berdiri di atas kepentingan politik jangka pendek.

Implikasi terhadap Demokrasi dan Supremasi Hukum

Keputusan Baleg untuk meninjau kembali putusan MK dan mengubahnya melalui revisi UU Pilkada mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip supremasi hukum. Dalam sistem demokrasi yang sehat, putusan lembaga yudikatif seperti MK seharusnya dihormati dan diterapkan tanpa intervensi legislatif yang bertujuan untuk melemahkannya.

Baca juga:  Abdullah Abu Bakar Mundur dari Wali Kota Kediri, Siapa Penggantinya?

Jika langkah Baleg ini diteruskan, hal ini bisa membuka pintu bagi intervensi politik lebih lanjut dalam proses hukum dan konstitusi. Ini akan mengikis kepercayaan publik terhadap integritas lembaga-lembaga negara dan memperkuat persepsi bahwa hukum dapat diubah sesuai dengan kepentingan elit politik. Konsekuensi jangka panjangnya adalah erosi terhadap prinsip checks and balances yang menjadi pilar demokrasi.

Kritik dan Harapan

Banyak pihak, termasuk partai politik dan aktivis masyarakat sipil, telah menyuarakan kritik mereka terhadap langkah Baleg ini. Mereka menilai bahwa tindakan ini adalah bentuk pembegalan terhadap putusan MK dan upaya melemahkan fungsi yudikatif sebagai penjaga konstitusi. Jika dibiarkan, ini bisa menciptakan preseden di mana keputusan hukum dapat dengan mudah diabaikan oleh kekuatan politik, yang pada akhirnya akan merusak keadilan dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan.

Baca juga:  Gadis 13 Tahun Asal Nganjuk Nyaris Terseret Ombak di Pantai Tambakrejo

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk DPR, untuk mengingat kembali komitmen mereka terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Proses legislasi seharusnya tidak digunakan sebagai alat untuk mengubah aturan sesuai kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk memperkuat sistem hukum yang adil dan merata bagi semua.

Dengan demikian, langkah yang diambil oleh Baleg DPR RI ini harus ditinjau kembali dan dikritisi secara mendalam. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat terus memperkuat demokrasinya dan memastikan bahwa hukum tetap menjadi landasan yang kokoh bagi pemerintahan yang adil dan transparan.

Ditulis Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin
Pemerhati Pendidikan Politik

Iklan