“Permohonan kepada Bapak Menteri untuk memperhatikan situasi di sekolah sangatlah penting. Kenapa perlu begitu banyak jenis baju (seragam)?,” ujar seorang ibu. Sebuah video yang menjadi viral pada tahun 2021 menggambarkan seorang ibu yang mengutarakan keluhannya kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) saat itu, Nadiem Makarim. Ibu tersebut berharap agar jumlah jenis seragam sekolah anaknya dapat dikurangi.

Meskipun sudah dua tahun berlalu, situasinya tidak berubah. Pada pertengahan Juli tahun ini, sebuah SMA negeri di Tulungung, Jawa Timur kembali menjadi viral karena seorang orang tua siswa membagikan kwitansi biaya untuk seragam sekolah anaknya. Total biaya mencapai Rp2.360.000.

Dalam rincian kwitansi tersebut, terdapat pembayaran untuk 10 jenis seragam, termasuk putih abu-abu, seragam pramuka, batik, seragam khas, jas almamater, kaus olahraga, ikat pinggang, tas, atribut, dan jilbab untuk siswi muslimah yang mengenakan jilbab.

Baca juga:  Serunya Outbond Kolaborasi ABA 4 Kota Blitar dengan Wali Murid

“Sekolah memang gratis, tapi biaya seragam dan buku harus dibayar.” Keluhan semacam ini muncul setiap tahun saat hari pertama masuk sekolah.

Kenyataannya, pungutan-pungutan tambahan seperti ini sering kali muncul dalam konteks pendidikan di Indonesia. Tidak hanya seragam, biaya ini juga melibatkan pembelian buku sekolah dan berbagai perlengkapan lainnya, yang terkadang diperlukan dalam acara wisuda atau kegiatan ekstrakurikuler.

Jejen Musfah, seorang pengamat pendidikan dari UIN Jakarta, berpendapat bahwa biaya untuk seragam sekolah seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Begitu juga dengan biaya buku. Menurutnya, pendidikan seharusnya disediakan secara gratis.

Jejen menambahkan bahwa komersialisasi dalam dunia pendidikan, termasuk melalui pungutan-pungutan ini, bertentangan dengan semangat undang-undang dan dapat menghalangi pencapaian pendidikan yang berkualitas.

Fenomena komersialisasi juga terlihat dalam berbagai bentuk, seperti Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang tinggi tanpa peningkatan fasilitas pendukung, terutama di perguruan tinggi. Komersialisasi semacam ini, menurut Jejen, dapat ditemukan di semua jenjang pendidikan di Indonesia.

Feriansyah dari Perhimpunan Persatuan Guru (P2G) menyatakan bahwa komersialisasi dalam pendidikan bukanlah masalah baru. Meskipun ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), masih banyak siswa dan orang tua yang menghadapi biaya mahal.

Komersialisasi ini membuat pendidikan terasa seperti layanan umum, di mana pendidikan seolah-olah menjadi bisnis antara masyarakat dan negara. Akibatnya, untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, orang harus membayar mahal.

Baca juga:  Marc Klok dan Ciro Alves Dihukum Larangan Tampil Plus Denda Rp75 Juta

Dalam pandangan Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR, masalah pendidikan di Indonesia belum selesai. Meskipun negara menghadapi tantangan keuangan, pendidikan harus tetap menjadi prioritas.

Dede Yusuf menyoroti bahwa komersialisasi dalam pendidikan berkaitan dengan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang belum terpenuhi. Kepatuhan terhadap standar-standar ini akan mengarahkan biaya tambahan lebih kepada fasilitas pendukung tambahan, bukan pungutan komersial. Standar-standar ini diatur dalam peraturan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

Seiring berjalannya waktu, pertanyaan muncul: Setelah 78 tahun berdirinya Republik ini, apakah pendidikan kita benar-benar merdeka? Filosofi “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus tetap diingat dalam membangun pendidikan yang berkualitas.

Editor: Rozak Al-Maftuhin

Iklan